Jakarta, ECNETNews – Indonesia kini menjadi target utama dalam perang dagang yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat. Pemerintah AS telah memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap barang-barang dari Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, dampak dari tarif ini diperkirakan akan sangat besar terhadap perekonomian Indonesia, dengan kemungkinan resesi menjelang akhir tahun 2025.
“Peningkatan tarif tersebut tidak hanya akan mempengaruhi ekspor Indonesia ke AS, yang hanya berkontribusi 10,5 persen dari total ekspor non-migas, tetapi juga akan berdampak pada ekspor ke negara lain,” jelasnya. Dalam analisisnya, ia juga menyebutkan dampak spillover yang dapat memicu resesi ekonomi di kuartal IV-2025.
Ekonom tersebut mengidentifikasi beberapa sektor yang akan terdampak secara signifikan, termasuk sektor otomotif dan elektronik, yang diperkirakan berada dalam kondisi kritis.
Data menunjukkan bahwa total ekspor produk otomotif Indonesia ke AS mencapai US$280,4 juta pada tahun 2023, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen. Namun, lonjakan tarif impor berpotensi menekan pertumbuhan menjadi negatif.
“Konsumen di AS akan menghadapi harga kendaraan yang lebih mahal akibat tarif ini, yang tentunya akan menurunkan penjualan otomotif. Selain itu, pelaku industri otomotif Indonesia akan kesulitan beralih ke pasar domestik karena perbedaan spesifikasi antara produk ekspor dan lokal,” tambahnya.
Tidak hanya sektor otomotif, industri elektronik juga akan merasakan dampaknya, mengingat banyaknya koneksi antara produsen elektronik dan suku cadang kendaraan. Ekspor produk elektronik merupakan yang tertinggi dari Indonesia ke AS, sehingga diprediksi akan mengalami penurunan.
Sektor padat karya seperti tekstil dan pakaian jadi juga diperkirakan akan terseret dalam dampak negatif ini, mengingat banyak brand internasional yang beroperasi di Indonesia memiliki pasar utama di AS. Dengan tarif yang lebih tinggi, banyak brand mungkin akan mengurangi jumlah pesanan dari pabrik-pabrik di Indonesia, sementara produk dari negara lain seperti Vietnam, Kamboja, dan China diperkirakan akan merangsek masuk ke pasar domestik.
Dari sisi ekonomi makro, nilai tukar rupiah serta indeks harga saham gabungan (IHSG) juga akan mengalami tekanan. Para investor diharapkan akan beralih ke aset aman, yang tentunya dapat mengakibatkan capital outflow dari pasar modal Indonesia.
“Penting untuk mencermati dampak terhadap inflasi impor, yang dapat menyebabkan peningkatan harga barang dan menekan daya beli masyarakat, terutama terhadap kebutuhan pokok dan barang-barang konsumen,” tambahnya.
Menyusul tarif impor ini, beberapa sektor seperti tekstil, elektronik, dan alas kaki akan menghadapi tantangan lebih besar di pasar AS, dengan perusahaan-perusahaan di negara tersebut cenderung mengurangi investasi mereka di Indonesia.
Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah mungkin akan mengalami pelemahan lebih lanjut, sementara IHSG diperkirakan akan berada dalam tekanan mengingat perkembangan di pasar Asia.