Jakarta – Pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang meminta kepada para koruptor untuk mengembalikan uang yang merugikan negara telah menarik perhatian luas. Banyak yang menilai keinginan Prabowo sebagai ide yang konstruktif dan progresif.
Rudyono Darsono, Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 Jakarta, mengatakan bahwa gagasan Prabowo tergolong revolusioner. “Hal ini lebih revolusioner dibandingkan dengan pendekatan beberapa negara lainnya. Skema pelaksanaannya perlu dirancang secara matang, dengan mempertimbangkan berbagai aspek sosial,” jelas Rudyono.
Menurutnya, salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah mengharuskan koruptor untuk secara sukarela mengakui kepemilikan harta haram mereka. “Proses ini harus didampingi dengan penerapan sanksi tegas setelah tenggat waktu pengakuan dosa berakhir,” tambahnya. Dia menekankan perlunya kejelasan untuk menghadirkan transparansi mengenai kekayaan para politisi dan birokrat yang diduga korup.
Rudyono juga menggarisbawahi pentingnya membersihkan reputasi aparat penegak hukum dan pejabat di lingkungan peradilan dari anggapan korupsi. “Adanya persepsi masyarakat yang menyebut bahwa banyak korupsi bersumber dari kalangan ini harus ditanggapi serius,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa langkah pengampunan dengan batas waktu pengakuan dosa dan penerapan denda terhadap harta haram para koruptor merupakan langkah yang tepat. “Pembersihan para oknum di lingkungan penegak hukum dan pemerintahan harus menjadi prioritas utama dalam agenda pemerintahan Prabowo,” tegas Rudyono.
Ia juga mengingatkan bahwa tantangan utama bukan terletak pada pajak yang rendah, tetapi pada disiplin yang rusak akibat lemahnya penegakan hukum. Terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, Rudyono menyatakan bahwa ini adalah warisan kebijakan yang dianggap tidak menguntungkan bagi pemerintahan saat ini. “Ini menjadi dilema, karena melaksanakan kebijakan tersebut akan menimbulkan banyak protes dari masyarakat,” pungkasnya.